Sunday, October 17, 2004

Wajah2 tanpa "make up"


Iqra
Wajah-wajah tanpa "make up"
Ternyata, tak semua yang maya lebur ke layar kaca. Yang nyata, watak yang tak bisa disembunyikan dalam make up sandiwara, kadang divisualisasikan televisi, jika kita cermat membaca. Dan tayangan sejenis "reality show" kadang jadi cermin yang membuka wajah-wajah tanpa selimut citraan itu.
Aktris, para pengusung sandiwara di televisi, adalah sosok yang selalu berusaha tak kehilangan kontrol atas dirinya. Seluruh tubuh, gerak, juga ucapan, selalu diusahakan tampil sempurna, sesuai dengan citra ideal yang dia kembangkan. Tapi, ternyata, tubuh tak selamanya mau setia dengan citra. Ketika kejutan datang, acap diri kehilangan kontrol, sebagaimana yang dialami Lelly Sagita.
Dalam sebuah wawancara tentang puasa, Lelly menjelaskan bahwa dia sibuk sekali menghadiri buka puasa sebagai undangan. Bahasanya tertib, bibirnya tak pernah lekang dari senyum. Tapi, tiba-tiba, wawancara itu terpotong oleh kedatangan tukang ojek, yang merasa dipesan oleh Lelly. Nah, inilah kejutan itu: wajah Lelly tiba-tiba merah, tegang, marah. "Hey! Memang saya pernah naik ojek! Yang bener aja, lu! Bakal gempar kalau saya naik ojek! Bukan, bukan saya yang pesan!" ia berkata keras, tangannya tiba-tiba bersedekap, bibir tertarik ke sisi, membentuk cibiran. Ketika ojek itu minta ganti uang atas pesanan itu, Lelly kian panik. Berkali-kali ia menolak, dan menuduhkan orang lain sebagai pihak yang pantas naik ojek. "Itu, yang agak hitam itu kali yang pesan, bukan saya. Gila, apa? Bisa gempar, hehe... Jadi, dia yang harus bayar!" Nada suaranya tinggi, tangannya main tuding, wajahnya masih merah. Ia tampak gugup, dan tak sadar jika semua itu masih terekam kamera.
Ya, Lelly memang dikerjai "Ngacir". Acara ini sendiri ditampilkan RCTI, saat sahur, pukul 03.30 WIB, Sabtu, 22 November tahun lalu. Selain dia, ada dua aktris lain yang juga dikerjai dengan cara sama: Netta dan Echa. Tapi, berbeda dari Lelly, kedua orang ini lebih tenang, tertawa-tawa ketika menolak, dan bersedia membayar ojek tersebut. Memang ada wajah bingung, tegang, tapi selebihnya adalah sikap yang wajar dari sebuah keterkejutan.
Pelenyap make-up
"Ngacir" yang selalu tampil di RCTI tiap Minggu sore, memang tayangan yang baik dan acap memancing tawa. Reality Show ini sangat populer, sehingga kadang ditampilkan secara khusus di jam reguler, seperti saat sahur dan Lebaran, atau berupa perulangan dijam-jam tengah malam, menunggu acara siaran langsung sepak bola. Jelas, tayangan ini memancing tawa, dari rasa keingintahuan penonton atas "reaksi alami" --sengaja pakai tanda petik, karena kadang ada aktris yang begitu lihai, sehingga reaksinya sungguh terkontrol, tak tersentuh oleh efek kejutan-- seorang selebritis. Namun, lebih dari kelucuan itu, ada terselip rasa senang yang lain, karena tanpa tersadari, acara ini membuka, melenyapkan "make-up" artis.
Inul misalnya, saat diwawancarai, hanya memberi waktu 10 menit. Dia sangat sibuk. Eh, dalam wawancara itu, tiba-tiba nyelonong seorang pria, yang menangis tersedu-sedu. "Mbak Inul, hanya Mbak-lah yang dapat menolong saya." Inul panik. Dell, manajernya saat itu, segera meminta kamera dimatikan. Tapi, kamera tetap nyala.
"Saya diminta orang-orang untuk menghubungi Mbak, jika butuh bantuan, hik-hik..." Lelaki itu bersimpuh di pangkuan Inul. Pewawancara protes. "Mbak Inul, ini sudah hampir sepuluh menit!"
"Iya, wes, tak tambahi 20 menit yo," jawab Inul, yang mendorongkan tangannya ketika Dell mencoba menarik orang itu dari pangkuannya. Lelaki itu kemudian minta uang. Inul memanggil Dell, dan menyerahkan amplop. Tapi, lelaki itu kembali mengatakan takut pulang. "Wes, mengko nunut aku, yo? Wes, tenang, rak sah nangis, mengko makan dulu, tak anter, yo?" kata Inul sambil membelai-belai kepala lelaki itu.
Dea Mirella lain lagi. Saat wawancara di rumahnya, salah satu kru "Ngacir" menceburkan diri ke kolam renang, dan berteriak-teriak, tenggelam. Dea kaget, dan meminta suaminya menolong. Ketika suaminya tak mau, dia marah, marah sekali. Mengiba-iba dia, dan nyaris menangis, meminta suaminya --yang tahu skenario "Ngacir"-- untuk menolong. Akhirnya, ketika Dea akan terjun sendiri, sang suami pun mengalah.
Marshanda juga pernah dikerjai. Tapi, artis cilik ini memang masih jujur sekali, dan reaksinya sangat biasa. Reginna juga, hanya pucat dan tak bisa bersuara waktu ponsel wartawan hilang di rumahnya. Robin dan Nana "Nyi Pelet" Khairina, malah mempersilakan orang yang mengaku saudaranya untuk menginap di rumahnya. Tapi, ada juga T-Five, Reihan, yang emosi, dan mengeluarkan umpatan.
Selain "Ngacir", acara "Spontan" di SCTV pun dalam beberapa sesinya mampu menunjukkan watak asali sang selebriti. Kejutan-kejutan yang mereka pasang, membuat reaksi spontan aktis, menunjukkan watak asali. Tampak Ayu Azhari yang sangat sinis, Bella yang bisa terlihat sadis.
Acara itu memang dahsyat, dapat membuka watak asli sang aktris, lepas dari skenario yang biasa mereka mainkan. Terlihat, Inul memang baik, sangat baik. Citra bagi aktris dari kampung ini, belum menjadi hal yang perlu. "Aku iki wong kampung, rak urusan dengan hal sing ngono-ngono!" adalah kalimat Inul yang menunjukkan betul tentang siapa dirinya. Dea juga baik. Tapi Lelly Sagita atau T-Five bisa demikian emosi, dan sangat arogan!
Tentu, tayangan ini tak dapat dijadikan cermin sesungguhnya dari watak sang artis. Artinya, ada saja kelemahan dari acara ini, yang membuat kadar ukurnya berkurang. Itu karena dari sekian tayangan, tampak beberapa artis yang masih saja menyadari hadirnya kamera meski dalam keterkejutan. Kesadaran hadirnya kamera ini membuat reaksi spontannya hanya pada mimik wajah, itu pun beberapa detik, selebihnya, image kembali terjaga, rapi, tertib. Selain itu, ada juga beberapa aktris yang sudah menyadari kemungikinan dikerjai "Ngacir" sehingga reaksinya pun terjaga. Mereka kaget dan mencari-cari sosok yang mereka kenali dari "perusak" wawancara itu, dan bereaksi "tertunda" sampai yakin hal itu bukan kejutan rekayasa. Dengan beberapa kelemahan itulah, menerapkan reaksi kejutan tadi sebagai "watak asli" si artis agak terlalu berlebihan. Apalagi, ternyata, di dunia citraan, terutama yang nampang di televisi, identitas bukan perkara mudah, rumit, bercecabang, dalam jejaring yang membingungkan, membentuk dan menyusup melalui labirin yang tak tepermanai.
Cermin imaji
Di dalam televisi, di abad citraan ini, identitas terbentuk dan diambil, lalu berpindah dengan sangat mudah. Identitas yang semula, menurut Jonathan Rutherford dalam Identity: Community, Culture, Difference, adalah satu mata rantai masa lalu dengan hubungan sosial, ekonomi, di dalam ruang dan waktu suatu masyarakat, yang menjadi pembeda dari orang lain, dan memberikan seseorang pengertian tentang lokasi personal --titik pusat individualitas yang stabil dan mantap, kini telah tak berlaku lagi. Identitas di abad ini bukan lagi sambungan dari rantai masa lalu, namun patahan-patahan, pragmentasi dari status-status situasional, yang dapat dipertukarkan, menyalin-rupa, "bertukar-tangkap-dengan lepas."Artinya, identitas bukan lagi sesuatu yang hanya berproses, melainkan sudah tak lagi menempati satu teritori, identitas berjalan dari satu pengingkaran ke pengingkaran lain. Identitas yang tak lagi teridentifikasi.
George Bataille dalam The Visions of Excess: Selected Writtings, 1927-1939 mengatakan, seseorang melakukan parodi jika dia mengubah dirinya menjadi bentuk-bentuk yang menyimpang dari identitasnya sendiri. Pemarodian ini karena manusia tidak lagi percaya pada diri sendiri, dan menyerahkan identitas untuk sepenuhnya dikuasai imaji. Inilah yang dalam psikoanalisa disebut image mirror, imaji cermin dalam dirinya sendiri.
Berkaitan dengan watak selebritis, identitas image mirror inilah yang terjadi. Atau, dalam bahasa Jacques Lacan, watak yang sesungguhnya berada dalam fase perkembangan psikologis anak empat tahun, mirror phase. Pada fase ini, seorang balita yang melihat cermin tak pernah melihat dirinya, tapi melihat representasi ideal yang direkonstruksinya melalui suatu mekanisme pengimajinasian. Mekanisme imajinasi itulah yang membuat seseorang dapat bermain, menerobos, meninggalkan, hukum, norma, atau batasan tabu dalam masyarakat, dan yakin dengan identitas dalam imajinasi tadi.
Apa yang membuat identitas aktis menjadi demikian? Tak lain kesadaran mereka sebagai objek dan subjek tontonan. Kesadaran inilah yang membuat mereka merasa harus bergerak, tak berdiam dalam satu teritori. Hidup harus terjaga penuh untuk bergerak, untuk tertib mengubah diri dalam sebuah situasi. Masuk, berdiam sesaat, yang artinya ikut memainkan sebuah peran sebagai tontonan atau penonton, dan ke luar, untuk masuk lagi pada peran yang lain. Kehidupan yang demikian inilah yang membuat make-up artis jadi sulit ditembus, topeng-topeng itu telah lengket dengan wajah, dan menyalin-rupa dengan cara yang tak terbayangkan. Identitas asali, yang tadinya merupakan bentukan dari akar masa lalu, hilang, terbang. Dan muncul sesekali, seperti ketika mereka kehilangan kontrol, saat berada dalam situasi tak normal, seperti situasi yang diciptakan "Ngacir."
Nah, dengan mengetahui bagaimana rumitnya pengadopsian identitas yang dilakukan para artis tadi, sungguh layak acara "Ngacir" dipuji. Pemujian ini lebih bukan karena mampu menunjukkan sisi baik seorang artis, atau "watak asli", bahwa si Inul baik adanya --mungkin inilah contoh identitas yang masih diikat oleh masa lalu sebagai orang kampung, mungkin lho?-- atau si Lelly Sagita sombong, melainkan tayangan "Ngacir" ini mampu memberi ruang bagi para artis untuk kembali, meski sesaat, kepada kondisinya yang asli, kepada identitas yang terbentuk ketika kesadaran sebagai tontonan belum ada, ketika citra, imaji, belum menjadi pilihan yang utama. Dengan kata lain, "Ngacir" menjadi berharga karena membuat seseorang telah berada di sebuah ruang, yang tanpa interpensi, ruang yang merdeka dari tekanan apa pun, dan menjadi diri sendiri, menunjukkan sisi yang mungkin culas, sombong, atau baik hati: sisi sebagai manusia, bukan robot, bukan pajangan mainan dan tontonan. Selamat untuk "Ngacir"!! (Aulia A Muhammad)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home