Monday, November 01, 2004


Cairo Tower. Honestly, im afraid of the altitude. Posted by Hello

Labels:

Wednesday, October 20, 2004

Amal itu berputar


Resonansi


Marilah berbuat baik...

Dia hampir saja tidak melihat wanita tua yang berdiri di pinggir jalan itu. Tetapi dalam cahaya berkabut ia dapat melihat bahwa wanita tua itu membutuhkan pertolongan. Lalu ia menghentikan mobil Pontiac-nya di depan mobil Mercedes wanita tua itu, keluar dan menghampirinya.
Walaupun dengan wajah tersenyum wanita tua itu tetap merasa khawatir. Setelah menunggu beberapa jam dan tidak ada seorang pun yang menolongnya, tidakkah lelaki itu bermaksud menyakitinya?
Lelaki tersebut penampilanya tidak terlalu baik. Ia kelihatan begitu memprihatinkan. Wanita tua itu dapat merasakan kalau dirinya begitu ketakutan; berdiri sendirian dalam cuaca yang begitu dingin. Lelaki tersebut tahu apa yang ia pikirkan.
"Saya kemari untuk membantu Anda, Bu. Kenapa Anda tidak menunggu di dalam mobil, bukankah di sana lebih hangat? Oh... ya nama saya Bryan?"
Ya, dia memang sudah terlalu lelah, apalagi untuk wanita setua, menunggu dalam dingin kini benar-benar terasa berat.
Bryan masuk ke dalam kolong mobil wanita tua itu untuk memperbaiki yang rusak. Akhirnya ia selesai, tetapi dia kelihatan begitu kotor dan lelah. Wanita tua itu membuka kaca jendela mobilnya, dan berbicara kepadanya.
"Saya dari St. Louis, kebetulan lewat di jalan ini. Saya sungguh merasa tidak cukup hanya mengatakan terimakasih atas pertolongan yang Anda berikan."
Wanita tua itu berkata berapa yang harus ia bayar. Berapapun jumlahnya yang Bryan minta tidak menjadi masalah, karena ia membayangkan apa yang akan terjadi jika lelaki tersebut tidak menolongnya.
Bryan hanya tersenyum. "Bu, menolong orang itu bukan pekerjaan, karena itu tidak layak suatu imbalan. Saya yakin, apabila menolong seseorang, suatu hari nanti tuhan juga akan menolong saya, dengan tangan yang berbeda. Amal itu berputar, Bu?"
"Bila Ibu benar-benar ingin membalas jasa saya, suatu saat nanti apabila ia melihat seseorang yang membutuhkanpertolongan maka tolonglah orang tersebut, ingatlah pada saya".
Bryan menunggu sampai wanita tua itu menstater mobilnya, lalu hilang dari pandangan.
Setelah berjalan beberapa mil wanita tua itu melihat kafe kecil. Ia lalu mampir ke sana untuk makan dan beristirahat sebentar. Seorang pelayan wanita datang dan memberikan handuk bersih untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Wanita tua itu memperhatikan sang pelayan yang sedang hamil, dan masih begitu muda. Lalu ia teringat kepada Bryan.
Setelah wanita tua itu selesai makan dan sang pelayan sedang mengambil kembalian untuknya, wanita tua itu pergi keluar secara diam-diam.
Setelah kepergiannya, sang pelayan kembali. Pelayan itu celingukan, bingung, tak menemukan wanita tua itu. Di meja, ia menemukan secarik kertas, dan selembar uang $1000. Ia begitu terharu setelah membaca apa yang ditulis oleh wanita tua itu:
"Kamu tidak berhutang apa pun pada saya. Karena seseorang telah menolong saya, oleh karena itulah saya menolong kamu, maka inilah yang harus kamu lakukan: jangan pernah berhenti untuk memberikan cinta dan kasih sayang".
Malam ketika ia pulang dan pergi tidur, pelayan itu berpikir mengenai uang dan apa yang ditulis oleh wanita tua itu. Bagaimana wanita itu bisa tahu kalau ia dan suaminya sangat membutuhkan uang untuk menanti kelahiran bayinya?
Ia tahu bagaimana suaminya sangat risau mengenai hal ini. Lalu, ia memeluk suaminya yang terbaring di sebelahnya dan memberikan kecupan yang lembut sambil berbisik, "Semuanya akan baik-baik saja, I Love You, Bryan".

Labels:

bagian paling penting


Resonansi


Bagian penting tubuhmu
Ibuku selalu bertanya padaku, apa bagian tubuh yang paling penting. Bertahun-tahun, aku selalu menebak dengan jawaban yang aku anggap benar. Ketika aku muda, aku pikir suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai manusia, jadi aku jawab, "Telinga, Bu." Tapi, ternyata itu bukan jawabannya.
"Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi, teruslah memikirkannya dan aku menanyakan lagi nanti."
Beberapa tahun kemudian, aku mencoba menjawab, sebelum dia bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama, kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini aku memberitahukannya. "Bu, penglihatan sangat penting bagi semua orang, jadi pastilah mata kita."
Dia memandangku dan berkata, "Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta."
Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun ke tahun, Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, "Bukan. Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku."
Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan, ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek.
Dia bertanya padaku, "Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?"
Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku.
Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, "Pertanyaan ini penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar "hidup". Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu padaku dulu, aku selalu berkata kamu salah dan aku telah memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari di mana kamu harus mendapat pelajaran yang sangat penting."
Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh dengan air. Dia berkata, "Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu."
Aku bertanya, "Apakah karena fungsinya untuk menahan kepala?"
Ibu membalas, "Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangi ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu punya bahu untuk menangis kapan pun kamu membutuhkannya."
Akhirnya, aku tahu, bagian tubuh yang paling penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Tapi, simpati terhadap penderitaan yang dialamin oleh orang lain. Orang akan melupakan apa yang kamu katakan. Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan. Tapi, orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti.

Labels:


Resonansi


Memecat pengemis
Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, kuberi, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis, barulah aku berhenti dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian.
Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah, tergantung persediaan.
Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanandi Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah.
Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada dipikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.
"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding
Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.
"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.
Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?"
"Betul Bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.
Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja dan lain-lain.
Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.
***
Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya --dengan tetap membayar-- ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.
Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."
Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.
Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.

Labels:

Sunday, October 17, 2004

Wajah2 tanpa "make up"


Iqra
Wajah-wajah tanpa "make up"
Ternyata, tak semua yang maya lebur ke layar kaca. Yang nyata, watak yang tak bisa disembunyikan dalam make up sandiwara, kadang divisualisasikan televisi, jika kita cermat membaca. Dan tayangan sejenis "reality show" kadang jadi cermin yang membuka wajah-wajah tanpa selimut citraan itu.
Aktris, para pengusung sandiwara di televisi, adalah sosok yang selalu berusaha tak kehilangan kontrol atas dirinya. Seluruh tubuh, gerak, juga ucapan, selalu diusahakan tampil sempurna, sesuai dengan citra ideal yang dia kembangkan. Tapi, ternyata, tubuh tak selamanya mau setia dengan citra. Ketika kejutan datang, acap diri kehilangan kontrol, sebagaimana yang dialami Lelly Sagita.
Dalam sebuah wawancara tentang puasa, Lelly menjelaskan bahwa dia sibuk sekali menghadiri buka puasa sebagai undangan. Bahasanya tertib, bibirnya tak pernah lekang dari senyum. Tapi, tiba-tiba, wawancara itu terpotong oleh kedatangan tukang ojek, yang merasa dipesan oleh Lelly. Nah, inilah kejutan itu: wajah Lelly tiba-tiba merah, tegang, marah. "Hey! Memang saya pernah naik ojek! Yang bener aja, lu! Bakal gempar kalau saya naik ojek! Bukan, bukan saya yang pesan!" ia berkata keras, tangannya tiba-tiba bersedekap, bibir tertarik ke sisi, membentuk cibiran. Ketika ojek itu minta ganti uang atas pesanan itu, Lelly kian panik. Berkali-kali ia menolak, dan menuduhkan orang lain sebagai pihak yang pantas naik ojek. "Itu, yang agak hitam itu kali yang pesan, bukan saya. Gila, apa? Bisa gempar, hehe... Jadi, dia yang harus bayar!" Nada suaranya tinggi, tangannya main tuding, wajahnya masih merah. Ia tampak gugup, dan tak sadar jika semua itu masih terekam kamera.
Ya, Lelly memang dikerjai "Ngacir". Acara ini sendiri ditampilkan RCTI, saat sahur, pukul 03.30 WIB, Sabtu, 22 November tahun lalu. Selain dia, ada dua aktris lain yang juga dikerjai dengan cara sama: Netta dan Echa. Tapi, berbeda dari Lelly, kedua orang ini lebih tenang, tertawa-tawa ketika menolak, dan bersedia membayar ojek tersebut. Memang ada wajah bingung, tegang, tapi selebihnya adalah sikap yang wajar dari sebuah keterkejutan.
Pelenyap make-up
"Ngacir" yang selalu tampil di RCTI tiap Minggu sore, memang tayangan yang baik dan acap memancing tawa. Reality Show ini sangat populer, sehingga kadang ditampilkan secara khusus di jam reguler, seperti saat sahur dan Lebaran, atau berupa perulangan dijam-jam tengah malam, menunggu acara siaran langsung sepak bola. Jelas, tayangan ini memancing tawa, dari rasa keingintahuan penonton atas "reaksi alami" --sengaja pakai tanda petik, karena kadang ada aktris yang begitu lihai, sehingga reaksinya sungguh terkontrol, tak tersentuh oleh efek kejutan-- seorang selebritis. Namun, lebih dari kelucuan itu, ada terselip rasa senang yang lain, karena tanpa tersadari, acara ini membuka, melenyapkan "make-up" artis.
Inul misalnya, saat diwawancarai, hanya memberi waktu 10 menit. Dia sangat sibuk. Eh, dalam wawancara itu, tiba-tiba nyelonong seorang pria, yang menangis tersedu-sedu. "Mbak Inul, hanya Mbak-lah yang dapat menolong saya." Inul panik. Dell, manajernya saat itu, segera meminta kamera dimatikan. Tapi, kamera tetap nyala.
"Saya diminta orang-orang untuk menghubungi Mbak, jika butuh bantuan, hik-hik..." Lelaki itu bersimpuh di pangkuan Inul. Pewawancara protes. "Mbak Inul, ini sudah hampir sepuluh menit!"
"Iya, wes, tak tambahi 20 menit yo," jawab Inul, yang mendorongkan tangannya ketika Dell mencoba menarik orang itu dari pangkuannya. Lelaki itu kemudian minta uang. Inul memanggil Dell, dan menyerahkan amplop. Tapi, lelaki itu kembali mengatakan takut pulang. "Wes, mengko nunut aku, yo? Wes, tenang, rak sah nangis, mengko makan dulu, tak anter, yo?" kata Inul sambil membelai-belai kepala lelaki itu.
Dea Mirella lain lagi. Saat wawancara di rumahnya, salah satu kru "Ngacir" menceburkan diri ke kolam renang, dan berteriak-teriak, tenggelam. Dea kaget, dan meminta suaminya menolong. Ketika suaminya tak mau, dia marah, marah sekali. Mengiba-iba dia, dan nyaris menangis, meminta suaminya --yang tahu skenario "Ngacir"-- untuk menolong. Akhirnya, ketika Dea akan terjun sendiri, sang suami pun mengalah.
Marshanda juga pernah dikerjai. Tapi, artis cilik ini memang masih jujur sekali, dan reaksinya sangat biasa. Reginna juga, hanya pucat dan tak bisa bersuara waktu ponsel wartawan hilang di rumahnya. Robin dan Nana "Nyi Pelet" Khairina, malah mempersilakan orang yang mengaku saudaranya untuk menginap di rumahnya. Tapi, ada juga T-Five, Reihan, yang emosi, dan mengeluarkan umpatan.
Selain "Ngacir", acara "Spontan" di SCTV pun dalam beberapa sesinya mampu menunjukkan watak asali sang selebriti. Kejutan-kejutan yang mereka pasang, membuat reaksi spontan aktis, menunjukkan watak asali. Tampak Ayu Azhari yang sangat sinis, Bella yang bisa terlihat sadis.
Acara itu memang dahsyat, dapat membuka watak asli sang aktris, lepas dari skenario yang biasa mereka mainkan. Terlihat, Inul memang baik, sangat baik. Citra bagi aktris dari kampung ini, belum menjadi hal yang perlu. "Aku iki wong kampung, rak urusan dengan hal sing ngono-ngono!" adalah kalimat Inul yang menunjukkan betul tentang siapa dirinya. Dea juga baik. Tapi Lelly Sagita atau T-Five bisa demikian emosi, dan sangat arogan!
Tentu, tayangan ini tak dapat dijadikan cermin sesungguhnya dari watak sang artis. Artinya, ada saja kelemahan dari acara ini, yang membuat kadar ukurnya berkurang. Itu karena dari sekian tayangan, tampak beberapa artis yang masih saja menyadari hadirnya kamera meski dalam keterkejutan. Kesadaran hadirnya kamera ini membuat reaksi spontannya hanya pada mimik wajah, itu pun beberapa detik, selebihnya, image kembali terjaga, rapi, tertib. Selain itu, ada juga beberapa aktris yang sudah menyadari kemungikinan dikerjai "Ngacir" sehingga reaksinya pun terjaga. Mereka kaget dan mencari-cari sosok yang mereka kenali dari "perusak" wawancara itu, dan bereaksi "tertunda" sampai yakin hal itu bukan kejutan rekayasa. Dengan beberapa kelemahan itulah, menerapkan reaksi kejutan tadi sebagai "watak asli" si artis agak terlalu berlebihan. Apalagi, ternyata, di dunia citraan, terutama yang nampang di televisi, identitas bukan perkara mudah, rumit, bercecabang, dalam jejaring yang membingungkan, membentuk dan menyusup melalui labirin yang tak tepermanai.
Cermin imaji
Di dalam televisi, di abad citraan ini, identitas terbentuk dan diambil, lalu berpindah dengan sangat mudah. Identitas yang semula, menurut Jonathan Rutherford dalam Identity: Community, Culture, Difference, adalah satu mata rantai masa lalu dengan hubungan sosial, ekonomi, di dalam ruang dan waktu suatu masyarakat, yang menjadi pembeda dari orang lain, dan memberikan seseorang pengertian tentang lokasi personal --titik pusat individualitas yang stabil dan mantap, kini telah tak berlaku lagi. Identitas di abad ini bukan lagi sambungan dari rantai masa lalu, namun patahan-patahan, pragmentasi dari status-status situasional, yang dapat dipertukarkan, menyalin-rupa, "bertukar-tangkap-dengan lepas."Artinya, identitas bukan lagi sesuatu yang hanya berproses, melainkan sudah tak lagi menempati satu teritori, identitas berjalan dari satu pengingkaran ke pengingkaran lain. Identitas yang tak lagi teridentifikasi.
George Bataille dalam The Visions of Excess: Selected Writtings, 1927-1939 mengatakan, seseorang melakukan parodi jika dia mengubah dirinya menjadi bentuk-bentuk yang menyimpang dari identitasnya sendiri. Pemarodian ini karena manusia tidak lagi percaya pada diri sendiri, dan menyerahkan identitas untuk sepenuhnya dikuasai imaji. Inilah yang dalam psikoanalisa disebut image mirror, imaji cermin dalam dirinya sendiri.
Berkaitan dengan watak selebritis, identitas image mirror inilah yang terjadi. Atau, dalam bahasa Jacques Lacan, watak yang sesungguhnya berada dalam fase perkembangan psikologis anak empat tahun, mirror phase. Pada fase ini, seorang balita yang melihat cermin tak pernah melihat dirinya, tapi melihat representasi ideal yang direkonstruksinya melalui suatu mekanisme pengimajinasian. Mekanisme imajinasi itulah yang membuat seseorang dapat bermain, menerobos, meninggalkan, hukum, norma, atau batasan tabu dalam masyarakat, dan yakin dengan identitas dalam imajinasi tadi.
Apa yang membuat identitas aktis menjadi demikian? Tak lain kesadaran mereka sebagai objek dan subjek tontonan. Kesadaran inilah yang membuat mereka merasa harus bergerak, tak berdiam dalam satu teritori. Hidup harus terjaga penuh untuk bergerak, untuk tertib mengubah diri dalam sebuah situasi. Masuk, berdiam sesaat, yang artinya ikut memainkan sebuah peran sebagai tontonan atau penonton, dan ke luar, untuk masuk lagi pada peran yang lain. Kehidupan yang demikian inilah yang membuat make-up artis jadi sulit ditembus, topeng-topeng itu telah lengket dengan wajah, dan menyalin-rupa dengan cara yang tak terbayangkan. Identitas asali, yang tadinya merupakan bentukan dari akar masa lalu, hilang, terbang. Dan muncul sesekali, seperti ketika mereka kehilangan kontrol, saat berada dalam situasi tak normal, seperti situasi yang diciptakan "Ngacir."
Nah, dengan mengetahui bagaimana rumitnya pengadopsian identitas yang dilakukan para artis tadi, sungguh layak acara "Ngacir" dipuji. Pemujian ini lebih bukan karena mampu menunjukkan sisi baik seorang artis, atau "watak asli", bahwa si Inul baik adanya --mungkin inilah contoh identitas yang masih diikat oleh masa lalu sebagai orang kampung, mungkin lho?-- atau si Lelly Sagita sombong, melainkan tayangan "Ngacir" ini mampu memberi ruang bagi para artis untuk kembali, meski sesaat, kepada kondisinya yang asli, kepada identitas yang terbentuk ketika kesadaran sebagai tontonan belum ada, ketika citra, imaji, belum menjadi pilihan yang utama. Dengan kata lain, "Ngacir" menjadi berharga karena membuat seseorang telah berada di sebuah ruang, yang tanpa interpensi, ruang yang merdeka dari tekanan apa pun, dan menjadi diri sendiri, menunjukkan sisi yang mungkin culas, sombong, atau baik hati: sisi sebagai manusia, bukan robot, bukan pajangan mainan dan tontonan. Selamat untuk "Ngacir"!! (Aulia A Muhammad)

Labels: